Rabu, 28 Juli 2010

Mengejar Matahari Terbit

Gelas kopi terakhir itupun diangkat dari meja berwarna putih yang pinggirannya disisipi besi alumunium sebagai penjaga tangan agar tidak luka terkena siku yang tajam. Gelas yang ada titik merah dibagian bawah yang entah sudah berapa bibir mencicipi kopi menggunakan gelas itu. Bibir-bibir yang mendesah ketika beratnya hidup harus ditanggung, kerasnya perjuangan harus dikerjakan. Dan engkau masih bertahan. Bertahan menahan gempuran perjalanan hati yang penuh liku-liku bagai pendayung sepeda tua menapaki bukit perlintasan kereta api yang tidak pernah tidur berseliweran selalu. Dan engkau matahari. Menyinari bibir itu yang selalu saja tidak bisa ku lupa, walau berkalang waktu, bermusim-musim mendayu, engkau tidak pernah cemberut. Seringkali mata itu juga melahirkan semangat baru. Semangat untuk tetap terus bertahan mencintaimu. Mencintai walau tidah bisa kupeluk, mencintai walau tidak bisa kucium, mencintai walau tidak bisa berbagi bahagia. Mataharimu terbit ditimur sedangkan aku matahariku ku dibarat. Entah kapan kita bisa bertemu, Waktu siang mungkin, Atau waktu malam ketika kita sama-sama tertidur diatas RANGKANG peninggalan Cupoe fatimah diladang timun suri. Malam ketika banyak bintang bertabur di angkasa, ada yang bersinar terang, ada yang bergandengan membentuk rasi, ada juga yang terpisah menyendiri. Kau pilih bintang untukku yang paling jauh. Dan engkau matahariku. Engkau begitu susah digapai ucapMu, begitu jauh, menyendiri. Ketika matahari tenggelam diKuta, engkau berbisik, Aku rindu perut gembulmu..